PELAKSANAAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA DALAM AKSI BERDEMONSTRASI

PELAKSANAAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA DALAM AKSI BERDEMONSTRASI

Ditulis oleh:Andrizal.

Universitas Lancang Kuning, email: andrizal2017@gmail.com

PELAKSANAAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA DALAM AKSI BERDEMONSTRASI

Portalriau.com- Pekanbaru -Latar Belakang Pada dasarnya pelaksanaan kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan

Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Adapun pelaksanaan menyampaikan pendapat di muka umum harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, sebagai berikut: asas keseimbangan antara hak dan kewajiban, asas musyawarah dan mufakat, asas kepastian hukum dan keadilan, asas proporsionalitas, dan asas manfaat. Kelima asas tersebut merupakan landasan kebebasan yang bertanggung jawab dalam berpikir dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

Meskipun diberlakukannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang

Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, namun dalam prakteknya masih sering terjadi unjuk rasa yang tidak dapat dikendalikan dan berujung pada tindak kekerasan, kebrutalan, dan kerusuhan massa sehingga menganggu ketertiban dan keamanan umum lainnya. Terjadinya suatu kerusuhan ada 5 (lima) prasyarat (determinan) yang secara bertahap harus dipenuhi untuk terjadinya kerusuhan massa, yaitu: situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kerusuhan, kejengkelan atau tekanan sosial, berkembangnya prasangka kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu, mobilisasi massa untuk beraksi, dan kontrol sosial, yaitu kemampuan aparat keamanan dan petugas untuk mengendalikan situasi dan menghambat kerusuhan. Determinan ini merupakan determinan lawan dari determinan lainnya sebelumnya, sehingga semakin kuat determinan ini semakin kecil kemungkinan meletusnya kerusuhan.

Unjuk rasa dalam praktek dapat dilakukan untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara demonstratif di muka umum, meliputi

unjuk rasa tertib, tidak tertib dan/atau kerusuhan massa. Akan tetapi, meskipun telah ada dan dibentuk saluran-saluran/ruang terbuka baik secara formal melalui perundang-undangan, seperti DPR/DPRD sebagai wakil rakyat, dan sebagainya untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi baik dengan dialog atau diskusi, namun maraknya penyampaian pendapat di muka umum dengan aksi unjuk rasa turun ke jalan dengan pengerahan massa/peserta selama ini menunjukkan bahwa kegiatan ini sepertinya sudah membudaya dan menjadi kebiasaan yang menjadi solusi dalam mengemukakan tuntutan/aspirasi masyarakat.

Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak asasi Manusia.Hal ini berarti bahwa penyampaian pendapat dimuka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam kaitannya dengan upaya membangun suatu negara demokrasi diperlukan juga adanya suasana yang aman, tertib dan damai dengan tidak merugikan kepentingan dan hak asasi manusia yang lainnya.

Untuk itu sejalan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, maka berimplikasi pula pada adanya perubahan paradigma Polri dalam menghadapi kegiatan penyampaian pendapat dimuka umum yaitu tidak lagi mengedepankan tindakan represif melainkan tindakan persuasif dan preventif.

Meskipun tidak implisit disebutkan dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, namun didalam penjelasannya yang dimaksud dengan aparatur pemerintah tersebut adalah aparatur pemerintahan yang menyelenggarakan pengamanan. Ini berarti secara tidak eksplisit telah menunjuk Kepolisian yang bertindak sebagai instansi/aparatur pemerintah yang dimaksud ketentuan tersebut. Hal ini sesuai dengan tugas pokok dan wewenang Polri sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polisi Republik Indonesia, yaitu : a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakan hukum; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, unjuk rasa dapat dikatakan aman, tertib dan damai jika proses pelaksanaannya tidak menimbulkan peristiwa atau kegiatan yang melanggar aturan hukum yang berlaku dan tidak menimbulkan tindakan yang dapat mengganggu keamanan dan keteriban masyarakat.

Lembaga Kepolisian yang ditunjuk sebagai lembaga/instansi yang menangani prosedur penyampaian pendapat di muka umum telah menyiapkan langkah -langkah pengamanan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Kapolri Nomor Pol : Skep/1600/X/1998 dan Surat Keputusan Direktur Samapta Babinkam

Polri Nomor Polisi: Proptap/01/V/2004. Pengamanan unjuk rasa yang dilakukan oleh Polri tidak sekedar mengamankan tempat dan pengunjuk rasa saja, tetapi lebih dari itu mengamankan lingkungan masyarakat secara umum. Hal ini disebabkan dalam kegiatan seperti itu tentu akan melibatkan massa banyak dapat terkontaminasi oleh orang lain yang mempunyai kepentingan lain diluar misi pengunjuk rasa.

Dalam hal tugas Polri, Suparlan menjelaskan fungsi utama polisi ialah

memelihara keteraturan atau mengembalikan keteraturan yang terganggu dalam hubungan antar individu maupun antar kelompok dan antar kategori yang tujuan

akhirnya menciptakan rasa aman dan nyaman bagi warga community dan masyarakat, sehingga proses-proses pruduksi dapat berjalan dengan sebaik-baiknya dan produktivitas dapat dijamin akan menghasilkan surplus yang memungkinkan tercapainya perkembangan ekonomi dan kesejahterahan hidup warga dan masyarakat. Fungsi-fungsi lainnya seperti menegakan hukum, memerangi kejahatan, mengayomi warga masyarakat dapat dilihat dari prespektif menjaga keamanan dan kenyamanan warga masyarakat agar dapat berproduksi secara maksimal sebagai output-nya.

Tata cara pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum diaturdalam

Pasal 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang KemerdekaanMenyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 9 wajibdiberitahukan secara tertulis kepada Polri.Pasal 10 ayat (2) menyatakan bahwa pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin atau penanggung jawab kelompok.Pasal 10 ayat (3) pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

selambat-lambatnya 3 x 24jam sebelum kegiatan dmulai telah diterima oleh Polisi

setempat. Pasal 10 ayat (4) menyatakan bahwa pemberitahuan secara tertulis sebagamana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlakubagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.

Pasal 11 menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 10 ayat (1) memuat : a. Maksud dan tujuan, b. Tempat, lokasi dan rute, c. Waktu dan lama, d. Bentuk, e. Penanggung Jawab, f. Nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan, g. Alat peraga yang dipergunakan, dan atau h. Jumlah peserta. Selanjutnya Pasal 12 ayat (1) Penanggung jawab kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9 dan Pasal 11, wajib bertanggung jawab agar kegiatan tersebut terlaksana secara aman, tertib dan damai. Pasal 12 ayat (2) Setiap sampai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta unjuk rasa atau demonstrasi dan pawai harus ada seorang sampai dengan 5 (lima) orang penanggung jawab.

Meskipun demonstrasi telah diatur mengenai tata cara pelaksanaan penyampai pendapat di muka, namun dalam praktek ketentuan tersebut banyak

yang tidak dipenuhi/dilanggar oleh peserta aksi unjuk rasa, misalnya tidak terpenuhinya waktu pemberitahuan, tidak memberitahukan kepada Polisi setempat, kegiatan unjuk rasa tidak sesuai dengan surat pemberitahuan (baik dari rute, waktu, lama, alat peraga yang dibawa maupun jumlah peserta).

Berdasarkan pengamatan dan informasi dari media massa cetak dan elektronik selama beberapa tahun hinggs saat ini, diperoleh gambaran bahwa pelaksanaan domonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa, pemuda, ormas, di Kota Pekanbaru misalnya belum sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalamUndang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.Pelaksanaan demonstrasi cenderung berakibat jalanan macet, rusuh, anarkis, dan sebagainya. Misalnya, demonstrasi RUU KUHP, UU Cipta Kerja, Dugaan Korupsi, dan lain-lain.

Pengertian Demonstrasi

Dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan demonstrasi adalah suatu gerakan protes dengan cara turun ke jalan.Demonstrasi berasal dari dua suku kata,yaitu kata demo (unjuk rasa) dan katakonsentrasi (pemusatan perhatian atau pikiran pada suatu hal, atau pemusatantenaga, kekuatan, pasukan, dan sebagainya di suatu tempat) melebur menjadi satu kata tunggal: demonstrasi. Demonstrasi dapat juga diartikan sebagai suatu aksi dalam bentuk unjuk rasa yang dilakukan dengan pemusatan suatu issu. Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum mendefinisikan bahwa Unjuk Rasa atau Demonstrasi mendefinisikan demonstrasikan adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran. Demonstrasi merupakan sebuah media dan sarana penyampaian gagasan atau ide-ide yang dianggap benar dan berupaya mempublikasikannya dalam bentuk pengarahan massa. Demonstrasi juga merupakan sebuah sarana atau alat sangat terkait dengan tujuan digunakannya sarana atau alat tersebut dan cara penggunaannya.

Demonstrasi merupakan tindakan untuk menyampaikan penolakan, kritik,

ketidakberpihakan, mengajari hal-hal yang dianggap sebuah penyimpangan, menyalurkan kepeduliannya terhadap pihak yang tertentu dalam hal ini pemerintah.Sebenarnya secara bahasa demonstrasi tidak sesempit, melakukan long-march, berteriak-teriak, membakar ban, aksi teatrikal, merusak pagar, atau tindakan -tindakan yang selama ini melekat pada kata demonstrasi.Dan dilakukan di ruang terbuka umum yang dimaksud adalah ruang terbuka publik yang dapat dilihat oleh publik secara umum atau terangterangan.

Demonstrasi dapat bernilai positif, namun dapat juga bernilai negatif.Ini

artinya, ketika demonstrasi itu menjunjung tinggi demokrasi, maka dipandang sebagai hal positif dan mempunyai nilai di mata masyarakat. Namun ketika demonstrasi mengabaikan demokrasi maka dipandang masyarakat sebagai hal yang tercela ataupun negatif. Demonstrasi adalah satu dari banyak cara menyampaikan pikiran atau pendapat. Sebagai cara, kegiatan itu perlu selalu dijaga dan dipelihara agar hal ini tidak berubah menjadi tujuan yang negatif. Menjadi tugas dan kewajiban kita untuk mengingatkan demonstrasi akan diakhiri ketika pandangan itu telah disampaikan.

Penyampaian pendapat di muka umum harus dilaksanakan sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, sebagai berikut:1. Asas keseimbangan

antara hak dan kewajiban;2. Asas musyawarah dan mufakat;3. Asas kepastian hukum dan keadilan;4. Asas proporsionalitas;5. Asas manfaat.(Lihat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum).Kelima asas ini merupakan landasan kebebasan yang bertanggung jawab dalam berpikir dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

Tinjauan Yuridis Demonstrasi

Kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28, 28 E ayat 3, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No XVSII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 14, 19, 20, dan 21. Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Pasal 19, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka umum dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 14, 23 ayat 2 dan Pasal 25.

Demonstrasi atau unjuk rasa termasuk dalam hak asasi manusia yang harus dilindungi.Di dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, dijabarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, seperti: 1. Persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)). 2. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat (2)). 3. Kemerdekaan berserikat dan 9 berkumpul (Pasal 28). 4. Hak mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan (Pasal 28). 5. Kebebasan memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat (2)). 6. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran (Pasal 31 ayat (1).

Demonstrasi atau aksi unjuk rasa merupakan salah satu bentuk penyampaian pendapat yang dilakukan di muka umum dan bagian dari perwujudan demokrasi yang dianut bangsa Indonesia. Demonstrasi merupakan sebuah media dan sarana penyampaian gagasan atau ide-ide yang dianggap benar dan berupaya mempublikasikannya dalam bentuk pengarahan massa. Demonstrasi juga merupakan sebuah sarana atau alat sangat terkait dengan tujuan digunakannya sarana atau alat tersebut dan cara penggunaannya.

Unjuk rasa atau demokrasi dipandang sebagai bentuk tingkah laku agresif, khususnya tingkah laku agresif massa yang timbul sebagai akibat adanya frustasi di masyarakat yang terjadi karena adanya ketidaksesuaian negative antara harapan yang wajar dengan kenyataan yang didapatkan (relative deprivation). Selain itu, unjuk rasa dipandang sebagai tindakan kolektif, dimana didalamnya terdapat beberapa kelompok manusia yang sangat potensial dan mudah diajak untuk melakukan unjuk rasa, diantaranya : orang miskin, terutama orang miskin baru, orang yang sedang mengalami frustasi, orang yang tidak puas, orang yang tersingkir, kelompok usia muda, juga kelompok marginal di tengah masyarakat.

Hal terpenting untuk dilakukan ialah mewujudkan demonstrasi yang damai dan tidak mengganggu ketertiban umum, sehingga apa yang disampaikan dapat didengar khalayak umum baik masyarakat, penguasa, pejabat, maupun elit politik negara ini. Demonstrasi yang berkembang dan terjadi diberbagai daerah baik yang dilakukan oleh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Kemasyarakatan, Partai Politik, maupun mahasiswa seringkali berujung anarkis dan ricuh. Demonstrasi bisa membawa sebuah pencerahan terhadap permasalahan yang berkembangan dengan mengusung suara aspirasi yang kritis, aspiratif, dan 10 solutif yang mewakili seluruh keinginan dan harapan bersama untuk sebuah kemajuan dan kebaikan negara.Namun, demonstrasi kini banyak sekali melenceng dari yang diharapkan. Demonstrasi bukannya membawa suatu solusi, tetapi justru membawa problem baru yang berdampak merugikan, hal ini merupakan preseden buruk dan kontra produktif terhadap visi perjuangan para demonstran karena merugikan berbagai kalangan pihak. Kondisi ini terlihat dari sikap anarkis massa yang merusak berbagai sarana prasarana dan menggangu ketertiban umum, seperti memblokade jalan yang menggangu pengendara umum, membakar ban bekas, membentangkan spanduk, foto-foto, bendera, merusak pagar, dan berbagai fasilitas umum lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anugrah Purnamasari S, Kajian Spasial Ruang Publik (Public Space) Perkotaan

Untuk Aktivitas Demonstrasi Mahasiswa di Kota Makassar, Jurnal Bumi Indonesia, Vol 1, No. 2, Tahun 2012.

Bobby Savero, Demonstrasi:Perjuangan Konstektual (Online). Artikel Tahun 2008, http://www.wikimu.com/New/DisplayNews.aspx?id=8449,diakses tanggal 12 Mei 2015.

Daniel Simamora, Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Unjuk Rasa Yang Bersifat Anarki (Studi Putusan Nomor: 2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn), Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010.

Darwan Prinst. Sosialisasi & Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2001.

Eric HofferTerjemahan Masri Maris. Gerakan Massa. Indonesia.Jakarta: Yayasan Obor. 1992.

Sri Handayani, Implementasi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum di Wilayah Sragen, Tesis Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2008.

Suparlan, Memelihara dan Mengembalikan Keteraturan Fungsi dan Tugas Polri, Bandung. Citra Aditya Abadi. 2000.

N.J. Smelser Terjemahan Sarwono. dalam bukunyaTheory of Collective Behaviour. Jakarta: Yayasan Obor.2.000.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat DimukaUmum. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2002 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.Prosedur Tetap Polri Nomor Pol. Protap/01/X/1998 tentang Tindakan Tegas Kepolisian DalamPenanganan Kerusuhan Massa.

Surat Keputusan Kapolri No. Pol : Skep/1567/X/1998, tanggal 31 Oktober 1998 tentang BukuPetunjuk Lapangan Pengamanan Penyampaian Pendapat di Muka Umum.

Prosedur Tetap Direktur Samapta Babinkam Polri No. Pol. Protap /01/V/2004.***

Berita Terkait

Program Bank Sampah PHR Wujudkan Lingkungan Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas

Pekanbaru, 4 Desember 2024 – Hari Disabilitas Internasional yang jatuh pada 3 Desember menjadi momentum untuk merefleksikan kembali pentingnya meningkatkan kesadaran untuk terus berupaya mewujudkan…...

Kolaborasi PHR – EMP Gandewa, Dongkrak Produksi 12 Kali Lipat Lapangan Menggala South

PEKANBARU, 2 Desember 2024 - Kolaborasi Pertamina Hulu Rokan (PHR) dan EMP Energi Gandewa, anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk., berhasil mendongkrak produksi minyak…...

Wamen BUMN Pesan Jaga Produksi Blok Rokan ini

PEKANBARU, 30 November 2024 – Wakil Menteri (Wamen) Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Aminuddin Ma’ruf, melakukan kunjungan kerja ke Wilayah Kerja (WK) Rokan yang dikelola…...

Gunungkidul: Keindahan Alam dan Peran PAFI dalam Pelayanan Kesehatan

Gunungkidul, sebuah kabupaten di wilayah selatan Daerah Istimewa Yogyakarta, terkenal akan panorama alamnya yang memikat. Daerah ini memiliki pantai-pantai eksotis seperti Pantai Indrayanti dan Pantai…...

DOSEN FH UNILAK BERI PENYULUHAN HUKUM DI SMA CENDANA PEKANBARU

Pekanbaru - Portalriau.com- Dosen Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning (UNILAK) memberikan Penyuluhan Hukum kepada siswa dan siswi SMA Cendana Pekanbaru mengenai perlindungan data pribadi dalam…...